KELURAHAN PETOBO

Sejarah Singkat

SEJARAH SINGKAT KELURAHAN PETOBO

Sebelum penjajahan Belanda, Awal mulanya Penduduk Desa Petobo berasal dari Bulili (Bulu Bulili) turun ke Ranontoraya. Kemudian dan Ranontoraya turun lagi ke Jajaki, tidak lama kemudian mereka pindah ke – opara pemuda jajaki, lalu penduduknya berpindah lagi ke Lurafoh. Pada waktu itu penduduk Lurafoh memiliki lahan pertanian yang sangat baik,mereka hidup menetap dan bercocok tanam dan ditempat itu pula hidup sebatang pohon kayu yang diberi nama “Penono”. Konon pohon kayu penono tersebut memilik kisah yang sangat berarti dan dijadikan nama tempat tinggal mereka, dan disitulah yakni ada seorang Gadis Cantik yang bemama Taboge Bulafa yang akan dipersunting oleh seorang Pemuda, oleh karena perbedaan faham mengenai adat istiadat dari kedua belah pihak yang dianggap melecekan sang gadis Taboge Bulafa, maka terjadilah penusukan terhadap pemuda tersebut yang mengakibatkan nyawa melayang.

          Dari riwayat tersebut diatas warga penduduk Penono berubah menjadi Desa Petobo. Konon jumlah penduduk saat itu berjumlah 70 (tujuh puluh) orang terdiri dan 35 (tiga puluh lima) orang yang memiliki kelainan mental, 35 (tiga puluh lima) orang memili pikiran yang waras dan jumlah penduduk tesebut tidak melebihi dan jumlah 70 (tujuh puluh) orang, dengan kata lain jumlah penduduk tetap, tidak bertambah dari angka kelahiran dan kematian, itu makna dan riwayat penduduk Penono.

          Pada tahun 1910, tokoh-tokoh adat melaksanakan pertemuan dalam rangka membahas pemerintahan kecil yang berbentuk kampung. Adapun susunan nama kepala kampung pada saat itu sebagai berikut:

¢ Yabakita       (1910 – 1915)

¢ Tandari        (1915 – 1927)

¢ Balase          (1927 – 1937)

¢ Palauwa       (1937 – 1940)

¢ Laweto         (1940 – 1943)

¢ Sabantina    (1943 – 1945)

¢ Suaebo        (1945 – 1955)

¢ Pantorano    (1955)

Selanjutnya sesuai perkembangan zaman kampung kecil tersebut berubah menjadi Desa.Adapun nama-nama kepala desa pada saat itu adalah:

¢ Sosompole             (1955 – 1960)

¢ Pantorano              (1960 – 1965)

¢ Rowiga                   (1965 – 1966)

¢ Lawia Pidjaeante    (1966 – 1974)

¢ Djunia                    (1974 – 1975)

¢ Ahmud Djalanu      (1975 – 1979)

          Pada masa kepemimpinan Bapak Ahmud Djalanu (1975-1979), Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pembentukan Desa dan Kelurahan dan Penyeragaman Nama Desa dan Kelurahan, maka sejak tahun 1980 terbentuk Kota Administrasi sehingga Desa Petobo menjadi Kelurahan Petobo.Adapun nama Lurah sebagai berikut:

¢ Yasbi Hi.Ladjuni                         (1979 – 1987)

¢ Hasan Djunada                          (1987 – 1991)

¢ Rampa Lamunduri           (1991 – 1995)

¢ Kahar Ponulele                          (1995 – 2000)

¢ Syamsu Hi.Ladjuni,S.Sos           (2000 – 2009)

¢ Ajusiar Muh.Amin. S.AP             (2009 – 2010)

¢ Andi Ahmad Akbar.S.STP (2010 – 2013)

¢ Nurhasan, SH                            (2013 – 2015)

¢ Hj.Purnama,S.Sos                      (2015 – 2016)

¢ Nurhasan,SH                             (2016)

¢ Masrun,S.Sos                            (2016 -2018)

Ο    Alfin Hi.Ladjuni,S.Sos      (2018 s/d sekarang)

Lumpur setinggi tiga meter di Petobo telah lama mengering, memendam banyak rumah dan jazad manusia. Serpihan-serpihan puing menyatu dalam debu yang beterbangan di tengah terik yang memanggang. Korban yang Meninggal Dunia yang terdata dikelurahan Petobo Sebanyak 728 Jiwa dan Data yang tidak di Temukan lebih dari 1000 Jiwa yang masih tertimbun dilokasi Likuefaksi, Data Penerima Santunan Duka Tahap Pertama Sebanyak 153 Jiwa dan Tahap Ke Dua Sebanyak 250 Jiwa di tahu 2020 Santunan Duka bertambah 34 Jiwa, Total Menerima Santunan Duka Kelurahan Petobo 437 Jiwa.

Di atas tanah bekas bencana likuefaksi itu, kini hanya menyisakan cerita-cerita kesedihan yang tak berkesudahan. Nama Petobo menjadi fenomenal setelah dilumat likuefaksi 28 September 2018 silam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat, Gempa 7,4 SR memicu likuefaksi di tanah seluas 180 hektare dari 316  hektare total luas Kelurahan Petobo.

Dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Palu 1995, tertulis, bahwa dalam periode itu penggunaan lahan untuk pemukiman dan pembangunan fasilitas umum di Kelurahan Petobo, hanya seluas 40,306 hektare. Sedangkan sisanya masih berupa semak, sawah, kebun kelapa dan jaringan irigasi.

Namun, berikutnya, Petobo makin padat dengan hunian Semantara (Huntara). Kompleks-kompleks perumahan banyak dibangun di atas bekas Sungai Ngia. Di bekas sungai itulah, lumpur likuefaksi 28 September 2018, melumat ratusan rumah dan bangunan lain setelah gempa mengguncang. Tepat di batas timur, ada sekitar 15 rumah di Kinta, bekas kampung pertama di Petobo yang selamat dari kepungan likuefaksi.